Friday 21 June 2013

Pengalaman Hidup Banker ”Tervonis Mati” Karmaka Surjaudaja

Kisah hidup Karmaka Surjaudaja, chairman Bank OCBC NIS, memang penuh liku. Lahir dari keluarga miskin asal Fujian, Tiongkok, kini dia memimpin bank dengan aset Rp34 triliun. Maut seperti tak pernah berhenti mengintai kehidupannya.
TAMPIL dalam talk show di televisi swasta di Jakarta, Karmaka Surjaudaja yang mengenakan setelan jas warna hitam dipadu dasi keemasan masih tampak gagah pada usia 75 tahun.
Gurat wajahnya menunjukkan dia telah melampaui banyak masa sulit. Mulai pengalaman beberapa kali mau dibunuh orang, percobaan bunuh diri, hingga menjalani operasi transplantasi liver dan ginjal sehingga harus koma beberapa kali.
Sejak 13 tahun lalu, Karmaka bahkan divonis mati oleh dokter. Namun, dia bersyukur Tuhan selalu menyayanginya sehingga setiap cobaan besar bisa dilampaui. Moto hidup Karmaka ’’Tidak Ada yang Tidak Bisa’’ akhirnya menjadi judul buku 279 halaman yang ditulis CEO/Chairman Jawa Pos (grup Radar Lampung) Dahlan Iskan.
Penulisan buku tersebut bermula ketika anak Karmaka, Pramukti Surjaudaja, menghubungi Dahlan yang pada 2007 sukses menjalani transplantasi hati. Lewat Pramukti, sang ayah menitipkan nasihat kepada Dahlan agar tak langsung bekerja keras setelah operasi. Sembari menasihati, Karmaka menceritakan kisah hidupnya yang membuat Dahlan tergerak untuk menulis.
’’Saya merasa bersalah kalau kisah Pak Karmaka ini tidak ditulis. Wong buku tentang pengalaman (ganti hati) saya tulis laris kok,” canda Dahlan yang saat itu duduk di samping Pramukti Surjaudaja.
Karmaka memulai kisahnya dengan bercerita saat dirinya diduga kanker sirosis dan dibawa ke New York, Amerika Serikat. Setelah diperiksa, ternyata dia menderita PBC (primary biliary cirrhosis), penyakit hati yang disebabkan abnormalitas sistem imun tubuh.
Meski bukan kanker, penyakit yang dia derita tidak kalah gawat. Saat itu Prof. Fenton Shaffner yang memeriksa Karmaka mengemukakan penyakit yang dia derita tidak ada obatnya. Penyakit itu biasanya akibat merokok dan minum-minuman alkohol.
’’Padahal, saya tidak merokok dan minum alkohol. Kemungkinan karena saya sering berada dalam ruangan orang yang merokok untuk membicarakan bisnis,” kenang pria yang dipanggil Nyao oleh cucu-cucunya itu.
Setelah berkonsultasi, dokter menyimpulkan penyebab penyakit Karmaka adalah overstres yang berkelanjutan. Sejak muda Karmaka memang dikenal pekerja keras. Pagi dia mengajar sebagai guru, siang menjadi buruh pabrik tekstil, dan malam guru les privat. Aktivitas terakhir membuat dia bertemu dengan istri yang mendampinginya hingga kini.
Karena memang tak ada obatnya, dokter Amerika itu menyuruh Karmaka bersama istri pulang dan menikmati sisa hidup. Namun, Karmaka tak menyerah. ’’Kami ke poliklinik di Jerman, kemudian ke Jepang. Semua dokter angkat tangan,” katanya.
Saat kembali ke tanah air, pikiran Karmaka lebih tertuju kepada buah hatinya. Anak-anaknya disuruh menuntut ilmu ke Amerika Serikat.
Pada 1997, kondisinya terus memburuk. Ditandai gejala-gejala seperti muntah dan berak darah. Satu-satunya pengobatan saat itu adalah transplantasi hati. Karmaka menolak. Sebab, teknologi kedokteran waktu itu belum semaju sekarang. Di antara tiga orang Indonesia yang transplantasi, tidak ada satu pun yang bisa bertahan hidup dalam setahun.
Suatu hari, masih pada 1997, Karmaka pingsan di kantor pusat Bank NISP di Bandung. Penyakit itu telah menyebabkan saluran pembuluh darahnya hampir pecah. Dia kemudian diterbangkan ke sebuah Rumah Sakit Mount Sinai di New York, Amerika.
Di sana pihak RS justru memarahi keluarga Karmaka karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan. ’’Mencari donor (liver) di Amerika juga tidak mudah. Butuh waktu 1–2 tahun,” kata Karmaka, yang saat bayi 10 bulan harus dijamin 500 gulden untuk bisa masuk Indonesia dengan perahu.
Akibat berbagai problem yang mengimpit, Karmaka sempat hilang akal. Dia meminta seluruh keluarganya pulang ke Bandung. Kalau tidak, dia memilih meninggal saja. Tidak mau berdebat dengan pasien yang sakit keras, dengan berat hati anggota keluarga Karmaka mengabulkan permintaan itu.
Pada saat itu, kata Karmaka, perutnya yang telah membesar menandakan penyakit liver yang dideritanya sudah gawat. Muncul keinginan Karmaka mengakhiri hidup. Sambil duduk dia mencopoti alat-alat bantu medis, kemudian menundukkan kepala untuk menekan hatinya. Dia merasa pembuluh darahnya ada yang pecah. ’’Saya kemudian berdoa kepada Tuhan,” kata pria bernama asli Kwee Tjie Hoei itu.
Menurut Karmaka, doa itu masih terkenang hingga kini. Ada dua hal yang dimintanya. Yang pertama, minta maaf kepada Tuhan yang ditinggalkannya sejak 1964. Yakni, ketika adiknya, Kwee Tjie Ong, meninggal dunia akibat kecelakaan beberapa hari sebelum diwisuda menjadi sarjana.
Hubungan emosional yang erat dengan sang adik membuat Karmaka ’’marah’’ besar kepada Tuhan. Sebab, demi adiknyalah Karmaka mengalah tidak masuk ITB jurusan elektro yang diidam-idamkan. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan membuat ayahnya hanya bisa membiayai pendidikan tinggi satu anak.
Karmaka bangga adiknya menunjukkan prestasi yang brilian di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ketika mahasiswa lain harus ditempatkan PTT di pedesaan, adiknya justru langsung menjadi asisten dosen dan meraih beasiswa spesialis internist (penyakit dalam).
Setelah terjadi kecelakaan, Karmaka mempertanyakan keputusan Tuhan mengambil nyawa adiknya yang disayangi keluarga. ’’Padahal, kami sekeluarga rajin ke gereja tiap minggu,” kenangnya.
Doa kedua yang dipanjatkan Karmaka adalah agar Tuhan mengampuni dosa keduanya. Yakni, pada 1966, saat terjadi krisis ekonomi, kepala kantor Bank NISP sampai dicekik dan diculik oleh masyarakat. ’’Kami harus memberhentikan kurang lebih 3.000 karyawan NISP yang loyal dan setia,” lanjutnya.
Di antara dua doa meminta ampun tersebut, Karmaka masih sempat ’’menantang’’ Tuhan. ’’Kalau memang Tuhan ada, maka akan ada donor dalam tiga hari ini,” katanya.
Untung, upaya Karmaka mengakhiri hidup diketahui perawat yang kemudian menyelamatkannya. Setelah kejadian tersebut, dokter tidak lagi percaya kepadanya dan menugasi dua suster untuk menjaganya.
Hari pertama setelah kejadian itu, Karmaka melihat air seninya masih kuning. Tanda-tanda pembuluh darah yang pecah adalah air seni menjadi merah atau kehitaman. Demikian juga hari kedua.

     Lalu, pada hari ketiga terjadi kejutan. Seorang suster mengabarkan ada donor yang siap memberikan livernya untuk Karmaka. ’’Kabar itu seperti jawaban dari Tuhan atas doa-doa saya,” kata Karmaka yang sukses menjalani operasi transplantasi hati itu. (*)
Karmaka Surjaudaja memang digerogoti penyakit. Tapi, dia punya semangat hidup luar biasa. Kalau ada kolega yang bertanya, ’’Sehat, Pak?”, dia selalu menjawab, ’’Saya tidak sehat, tapi saya bertahan hidup”. Inilah sebagian episode hidupnya yang ditulis Dahlan Iskan dalam buku Tidak Ada yang Tidak Bisa.

SESEORANG yang melakukan transplantasi liver seperti Karmaka harus terus-menerus meminum obat setiap hari. Sehari bisa lima kali. Obatnya berjenis-jenis hingga belasan jumlahnya dan semuanya punya dampak samping yang harus diatasi dengan meminum obat lain lagi.
Salah satunya adalah obat yang sangat keras, berfungsi sebagai anti-rejection atau penolakan agar liver baru terus bisa diterima dan bekerja secara sinkron dengan organ tubuh yang lain.
Akibat terus-menerus meminum banyak obat yang sangat keras, ginjal Karmaka ’’kalah”. Ginjal kanannya kehilangan fungsi. Bahkan, ternyata di dalam ginjal kanan itu juga diketahui tumbuh kanker ganas.
Maka pada 2002, lima tahun setelah Karmaka menjalani penggantian liver, dia harus menghadapi operasi ginjal. Apalagi kanker itu sudah menjalar pula ke bladder (kandung kemih), yang berfungsi menampung air kencing.
Karmaka pergi ke UCLA Medical Center di Los Angeles, Amerika, karena di sana ada dokter yang memahami operasi ginjal bagi pasien yang pernah transplantasi liver. Di situlah ginjal kanan Karmaka dipotong dan dibuang.
Sejak tahun itu, Karmaka harus hidup hanya dengan satu ginjal. Dan karena kankernya mulai menjalar, Karmaka harus beberapa kali ke Los Angeles untuk membersihkan sisa-sisanya.
Pembersihan tumor kanker itu dilakukan dengan memasukkan alat dari lubang kemaluan. Setelah itu, selama empat bulan setiap minggu harus ke Singapura untuk kemoterapi. Itu dimaksudkan agar sisa-sisa kanker yang mungkin masih ada di dalamnya bisa dibasmi secara sempurna.
Dalam keadaan seperti itu, Karmaka masih mengalami musibah tambahan. Waktu berada di Lombok, saat sedang berlibur bersama keluarga, Karmaka jatuh dari tempat tidur saat bangun pagi-pagi karena ingin buru-buru ke bandara. Tulang pahanya retak. Sakitnya bukan main. Karmaka tidak bisa berjalan. Pagi itu terpaksa dia dipapah sambil berjalan mengenakan kruk.
Setiba di Bandung, Karmaka ditangani dokter dan diharuskan istirahat di tempat tidur selama tiga bulan. Dia tidak boleh bergerak ke mana-mana. Itu tidak bisa diterima oleh Karmaka yang sangat aktif dan mobile itu. Maka, dia datang ke ahli akupunktur, dr. Sim Kie Ie.
Dalam pengobatannya, dr. Sim Kie Ie selalu menggunakan akupunktur dan obat gosok. Yakni, arak yang digosokkan setiap hari ke bagian pahanya. Selama pengobatan tersebut, Karmaka masih tetap masuk kantor, meski harus menggunakan kruk.
Minggu kedua dia mencoba melepas salah satu kruknya. Ternyata bisa. Minggu ketiga yang satu lagi dia lepas. Juga bisa. Maka, dalam tiga minggu Karmaka sudah kembali bisa berjalan normal. Tidak harus tiga bulan berbaring di tempat tidur seperti yang diperkirakan semula. Kembali itu membuktikan bahwa kemauan (mind power) sangat penting dan bisa meningkatkan hasil secara luar biasa.
***
Usaha melawan sisa-sisa kankernya terus dilakukan. Tapi, upaya itu juga mengakibatkan bagian-bagian lain organnya terganggu. Pada suatu pagi pada 2003, ketika Karmaka dalam perjalanan ke kantor NISP, tiba-tiba dia tidak bisa bernapas. Karmaka pingsan. Sama sekali tidak sadar.
Dia langsung dilarikan ke RS Boromeus dalam keadaan tidak sadar. Bahkan, sampai empat hari kemudian Karmaka belum siuman. Dari alat-alat monitor diketahui saraf otaknya sudah menunjukkan angka nol. Demikian juga jantungnya, sudah hampir-hampir tidak berfungsi. Keluarga panik. Harapan sudah amat tipis.
Namun, pihak keluarga belum mau menyerah. Dengan pesawat carteran, Karmaka diterbangkan ke Mount Elizabeth, Singapura. Di sana dilakukan pertolongan darurat. Namun sia-sia. Akhirnya Karmaka hanya dimasukkan ICU untuk dimonitor setiap hari. Namun, hasil monitor itu tetap menunjukkan tidak ada perubahan. Karmaka masih koma dan tidak ada tanda-tanda yang bisa memberikan harapan.
Setelah seminggu kemudian keadaan Karmaka tetap koma, keluarga pun sudah siap dengan kenyataan terburuk. Maka, persiapan untuk menyambut kematian Karmaka mulai dilakukan. Foto Karmaka yang paling ganteng sudah disiapkan. Foto tersebut juga sudah diminta dikirim ke Singapura. Foto itulah yang akan dipasang di atas peti jenazahnya, kelak, kalau mayatnya dibawa pulang ke Bandung.
Pada hari ke-9, seorang perawat sedang menengok Karmaka yang masih koma itu. Tiba-tiba, dia melihat jari-jari tangan kanan Karmaka bergerak-gerak. Lalu, perawat tersebut berlari-lari sambil mengatakan kepada temannya bahwa pasien itu masih hidup!
Dokter dan perawat lain mendatangi Karmaka. Lalu memberikan pertolongan pernapasan dan detak jantung. Terjadilah apa yang mestinya tidak terjadi: Karmaka siuman dan sadar kembali. Karmaka hidup lagi. Keluarganya yang sudah pasrah pun merasa amat bahagia.

     Karmaka mendengarkan cerita apa saja yang dialaminya selama ’’mati” hampir dua minggu lamanya. Karmaka juga merasa bahagia. Karmaka memang selalu menyatakan semangat dan keyakinan diri yang tinggi sering membuat hidupnya sungguh-sungguh hidup. Dan kebaikan semua karyawannya juga mendorong hidupnya menjadi lebih hidup. Lebih-lebih lagi cinta kasih sayang dari istri, anak-anak dan menantu-menantu, serta cucu-cucunya yang sangat membangkitkan semangat hidup! (*)
Keluar Rumah Terpaksa Pakai Jaket Antipeluru
Karmaka Surjaudaja membesarkan Bank NISP dengan keringat dan air mata. Banyak suka duka yang dialami saat dia memimpin bank warisan mertuanya itu. Termasuk menjadi korban penculikan yang hingga kini tidak jelas motifnya.

PENGALAMAN berjibaku dengan maut memang menjadi salah satu kisah hidup Karmaka yang sulit dilupakan. Selain kondisi kesehatan yang membuatnya nyaris meninggal, ayah lima anak itu mengaku tiga kali mengalami percobaan pembunuhan.
Yang pertama pada 1962, saat dia mendapat tugas dari mertuanya, Lim Khe Tjie, pemilik Bank NISP, untuk mengambil alih manajemen bank yang berkantor pusat di Bandung itu.
Meski masih anggota keluarga (menantu) pemilik, itu bukan tugas yang gampang bagi Karmaka. Manajemen saat itu –yang oleh pemilik dan karyawan dianggap tidak beriktikad baik dalam mengelola perusahaan– menolak Karmaka masuk ke manajemen. Status Karmaka yang masih warga negara asing (WNA) dan hanya tamatan SMA menjadi alasan mereka tidak menerimanya.
Namun, berkat dukungan karyawan yang khawatir Bank NISP akan kolaps karena kesalahan manajemen, Karmaka (dengan izin khusus dari otoritas moneter) akhirnya bisa menjadi direktur utama bank kebanggaan warga Kota Kembang itu. Meski demikian, pejabat lama saat itu tidak segera menyerahkan mobil dinas kepada Karmaka. Alasannya, mobil itu masih di bengkel. Baru tiga hari kemudian mobil tersebut diantarkan ke rumahnya.
Karmaka merasa ada yang tidak beres dengan mobil itu sehingga meminta seorang mekanik untuk memeriksa mobilnya. Benar dugaannya, sang mekanik itu mengatakan bahwa mobil tersebut akan mengalami kecelakaan jika dipacu dalam kecepatan tinggi karena remnya blong.
’’Saya langsung datangi rumahnya (mantan pejabat Bank NISP) itu. Kamu mencoba membunuh saya. Kalau ada apa-apa dengan saya, semua orang menjadi saksi kamu pernah mencoba membunuh saya,” labrak Karmaka.
Di bawah kepemimpinannya, Bank NISP yang dulu dibesarkan mertuanya bisa sehat kembali. Namun, pada September 1965, pemerintah melakukan sanering. Dengan kebijakan moneter itu, uang Rp1.000 tinggal Rp1. Akibatnya, banyak nasabah yang marah. Bank-bank mengalami kesulitan besar. Tak terkecuali Bank NISP.
Saat itu keluarganya sebagai pemilik Bank NISP terpaksa harus berbagi saham dengan seorang bos besar dari Jakarta. Investor itu membeli 43 persen saham NISP lewat lelang.
Saat bermitra dengan investor itulah, Karmaka merasa seperti keluar lubang buaya masuk ke kandang singa. Meski telah berhasil menyelamatkan NISP dengan lelang, sang pemenang ternyata menyimpan maksud ingin menguasai 100 persen saham NISP.
Suatu hari, setelah Lebaran, Karmaka mau keluar kota. Sesaat sebelum berangkat itulah, sopirnya melihat ada bekas lubang peluru di bumper kiri mobilnya. ’’Kemarin belum ada lubang ini,” lapor sopir Karmaka.
Kakek dari lima cucu itu curiga. Dia langsung meminta orang kepolisian menyelidiknya. Ternyata benar, lubang itu merupakan lubang peluru yang sengaja ditembakkan dari jarak cukup dekat dari samping kiri-belakang. ’’Sejak itu, saya sangat berhati-hati,” tuturnya.
Upaya pembunuhan ketiga terhadap Karmaka terjadi saat anaknya yang keempat, Parwati Surjaudaja (kini menjabat Presdir Bank OCBC NISP), berusia 10 bulan. Ceritanya, pagi itu Karmaka sedang menggendong anak perempuannya tersebut. Tiba-tiba terdengar sebuah mobil direm mendadak. Dia melihat mobil jip berhenti di rumahnya. Beberapa petugas CPM (polisi militer) turun dan menanyakan tentang rumah Mr. Tan. Karena memang tak kenal, Karmaka menjawab tidak tahu.
Kemudian, petugas tersebut kembali naik jip dan pergi begitu saja. Selang 30 menit kemudian, telepon rumah Karmaka berdering. Setelah itu, sang penelepon dengan kasar menyuruh Karmaka ke Restoran Sin A di Jalan Suniaraja, Bandung. Lokasi tersebut kini berubah menjadi gedung Bank Jasa Arta.
’’Kalau dalam satu jam tidak juga datang, bom-bom granat di sekitar rumahmu akan meledak semua,” gertak si penelepon.
Melihat gelagat yang tidak baik, Karmaka langsung berganti baju yang lusuh dan naik becak menuju lokasi. Begitu tiba di lokasi, orang-orang yang sempat ke rumahnya tadi langsung mendatanginya dan mengatakan. ’’Awas! Ini pistol. Pistol ini tidak menimbulkan bunyi. Segera naik jip,” perintah salah seorang.
Karmaka akhirnya dibawa berputar-putar dan akhirnya disekap ke pedesaan. Dia bingung dengan motif penyekapan tersebut. Apakah soal uang? Saham? Tidak jelas. Pada pukul 02.30, saat dua penjaganya tidur mengorok, Karmaka lalu menjebol jendela dan melarikan diri. Dia terus berlari bertelanjang kaki menyusuri pematang.
Di situ kemudian dia bertemu dengan petani yang menyebutkan bahwa nama desa tersebut adalah Gegerkalong. Sang petani kemudian menunjukkan jalan keluar dari desa itu. Tepat pukul 04.00 subuh, Karmaka tiba di rumah di Jalan Hegarmanah Nomor 10. Ini rumah Brigjen Sutoko. Salah seorang kolega ayah mertuanya. Dengan napas masih ngos-ngosan, Karmaka mengetuk pintu rumah itu keras-keras. ’’Siapa?” terdengar suara dalam rumah.
’’Saya Pak, menantu Lim Khe Tjie,” jawab Karmaka. ’’Saya mohon pertolongan dan perlindungan,” tambahnya. ’’Saya mau dibunuh orang,” ujarnya lagi.
’’Lim Khe Tji Bank NISP?” tanya suara dari dalam. ’’Ya Pak,” jawab Karmaka.
Jenderal Sutoko yang dikenal akrab oleh para aktivis mahasiswa ITB itu keluar rumah. ’’Masuk, duduk sini,” kata Pak Sutoko. Dia lalu bertanya kepada Karmaka. ’’Kamu tahu siapa itu mertuamu?” ’’Tahu Pak, Lim Khe Tjie,” jawab Karmaka. ’’Bukan itu, tahu nggak siapa dan bagaimana beliau itu,” lanjutnya.
’’Tidak tahu,” jawab Karmaka. Pak Sutoko akhirnya menceritakan bahwa mertuanya adalah seorang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan yang turut bahu-membahu dengan para pejuang di Bandung. Sutoko yang dikenal dekat dengan Jenderal Nasution itu menelepon seorang kolonel dan memerintahkan agar Karmaka mendapat pengawalan. Perwira itu lalu menerjunkan sepuluh prajurit untuk mengantarkan Karmaka pulang ke rumah.
Hingga dua tahun setelah peristiwa itu, Karmaka masih mendapat pengawalan dari prajurit (meski jumlahnya tinggal dua orang). Selain itu, dia mendapat jaket antipeluru yang dikenakan saat keluar rumah. Meski agak terganggu (karena memang berat), jaket itu tetap dipakai.
Kini pada usia 75 tahun, meski masih menderita sakit di kandung kemih, kehidupan Karmaka masih diwarnai tawa. Dia ditakdirkan untuk tetap bisa melihat perkembangan NISP. Terutama di bawah kepemimpinan anak-anaknya.
Dalam acara Kick Andy itu, lima cucu Karmaka (Tisya, Ringgo, Narendra, Sagara, dan Albert) yang lucu-lucu menyempatkan diri mengemukakan nasihat-nasihat yang sejak dulu diberikan Nyao –panggilan Karmaka.
Tisya, misalnya, mengingat nasihat sang kakek bahwa kesempatan baik tidak selalu ada. Kemudian, Ringgo mengingatkan nasihat pentingnya untuk menjadi mandiri. Narendra dengan bersemangat mengucapkan kalimat ’’Harus Sekolah! Pantang Menyerah!”

       Sagara mengingatkan nasihat sekaligus pengalaman pribadi Nyao bahwa kakak harus mengalah kepada adik-adiknya. Tidak boleh selalu ingin menang sendiri. Sekaraya mengingat pesan sang aki bahwa badan harus sehat, makan sayur mayur dan makanan sehat, serta istirahat yang cukup. Albert, cucu yang paling besar, mengatakan bahwa kakeknya bukan sekadar memberikan nasihat kosong. ’’Semua diambil dari pengalaman hidup yang luar biasa,” katanya. (*)

Sumber: http://www.radarlampung.co.id/ (13 - 15 Maret 2009)

No comments:

Post a Comment